GENDER
1.1
Latar Belakang Masalah
Selama
lebih dari sepuluh tahun istilah gender
meramaikan berbagai diskusi tentang masalah-masalah perempuan, selama itu
pulalah istilah tersebut telah mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha emansipasi
wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang
dipelopori ibu Kartini tetapi juga di berbagai
penjuru dunia lainnya.
Kekaburan
makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari
kaum laki-laki yang merasa terancam “hegemoni kekuasaannya” tapi juga datang
dari kaum perempuan sendiri yang tidak paham akan apa yang sesungguhnya
dipermasalahkan oleh perjuangan gender
itu.
Kebanyakan orang awam mengganggap bahwa masalah gender
terletak pada pembedaan kodrat seorang manusia yang dibedakan berdasarkan ciri
biologisnya, yaitu perempuan dan laki-laki. Padahal konsep gender sangatlah
luas, tidak terbatas pada pembedaan dari sudut pandang seks saja
1.2
Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dari pembuatan makalah ini, ialah guna
memenuhi tugas pada mata kuliah MPK yaitu, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD). Sedangkan tujuan dari penyusunan
makalah ini, ialah untuk memberikan wawasan seluas-luasnya kepada para pembaca mengenai
konsep gender serta berbagai masalah mengenai perbedaan gender di Indonesia.
1.3
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah kami paparkan di atas, kami menemukan
beberapa permasalahan, antara lain:
1.
Bagaimana
pengertian gender menurut para ahli?
2.
Bagaimana
sesungguhnya konsep gender itu?
3.
Bagaimana
sosialisasi peran gender?
4.
Bagaimana
stratifikasi perempuan berdasarkan perbedaan gender?
5.
Bagaimana
konsep gender dalam kehidupan
masyarakat Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Gender Menurut Ahli
Berikut merupakan pengertian gender dari beberapa ahli, antara lain:
1. Fakih, gender merupakan suatu sifat
yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural. Perubahan ciri dan sifat-sifat yang terjadi dari waktu
ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut konsep gender.
2. John M. Echols & Hassan Sadhily, gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (Rahmawati, 2004: 19). Secara umum, pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
3. Santrock (2003: 365), istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.
4. Rahmawati, 2004: 19, istilah gender merujuk pada karakteristik dan ciri-ciri sosial yang diasosiasikan pada laki-laki dan perempuan. Karakteristik dan ciri yang diasosiasikan tidak hanya didasarkan pada perbedaan biologis, melainkan juga pada interpretasi sosial dan cultural tentang apa artinya menjadi laki-laki atau perempuan.
5. Moore (Abdullah, 2003: 19), mengemukakan bahwa gender berbeda dari seks dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
6. Baron (2000: 188), mengartikan bahwa gender
merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu
sebagai seorang laki-laki atau perempuan
7. Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini:
Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu
fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai
suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis,
Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Dari beberapa penjelasan mengenai seks dan gender di atas, dapat dipahami
bahwa seks merupakan pembagian jenis kelamin berdasarkan dimensi biologis dan
tidak dapat diubah-ubah, sedangkan gender
merupakan hasil konstruksi manusia berdasarkan dimensi sosial-kultural
tentang laki-laki atau perempuan. Secara jelas, yang dimaksud gender
adalah karakteristik laki-laki dan perempuan berdasarkan dimensi sosial-kultural
yang tampak dari nilai dan tingkah laku.
2.2 Konsep
Gender
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari
konsep seks atau jenis kelamin secara
biologis. Pengertian seks atau jenis
kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat permanen (tidak dapat
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir dan merupakan
pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Melalui
penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa seseorang akan
disebut berjenis kelamin laki-laki
jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma .
Sementara seseorang disebut berjenis
kelamin perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat
reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan
proses melahirkan. Ciri-ciri secara biologis ini sama di semua tempat, di semua
budaya dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
Berbeda dengan
seks atau jenis kelamin yang
diberikan oleh Tuhan dan sudah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga
menjadi kodrat manusia, istilah gender yang diserap dari bahasa Inggris
dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya dalam Bahasa Indonesia,
---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah mengubah gender menjadi jender--- merupakan
rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi,
sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah,
waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3 September 1995)
Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang
dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang
disosialisasikan secara turun temurun
maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki
dan perempuan berlandaskan hubungan gender
dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya
ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun
demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender
tetap dilakukan dan salah satu definisi gender
telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a
constitutive element of social relationships based on perceived differences
between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.”
(1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin,
lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut,
keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus
anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah
kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan
daerah yang lainnya. Oleh karena
itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah
bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat
keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan
pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai
pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis
kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan
perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai
wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah
kesalahan pemahaman akan konsep gender
seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah
melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara
lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh
pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi bukanlah kodrat.
Contoh peran gender berbeda antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain sebagai berikut.
(1). Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari pada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
(2). Masyarakat Sumatera Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, berarti hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting dari pada hubungan keluarga dengan garis pria (ayah).
(3). Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral, berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
Jadi status dan peran pria dan wanita berbeda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang disebabkan oleh
perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya. Contoh peran gender berubah
dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman sebagai berikut. Pada masa
lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria, tetapi sekarang
wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa. Contoh lain, pada masa
silam, jika wanita ke luar rumah sendiri (tanpa ada yang menemani) apalagi pada
waktu malam hari, dianggap tidak pantas, tetapi sekarang sudah dianggap hal
yang biasa.
Contoh peran gender yang dapat ditukarkan antara pria dengan wanita sebagai berikut. Mengasuh anak, mencuci pakaian dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria (ayah). Contoh lain, mencangkul, menyembelih ayam dan lain-lain yang biasa dilakukan oleh pria (ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu).
Dikemukakan oleh Bemmelen (2002), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria dan wanita sebagai berikut. Perempuan memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau lembut, emosional dan lain - lain. Sedangkan pria memiliki ciri-ciri: kuat, kasar, rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada wanita yang kuat, kasar dan rasional, sebaliknya ada pula pria yang lemah, lembut dan emosional. Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk pria dan wanita sebagai berikut.
STATUS DAN PERAN
|
|
PEREMPUAN
|
LAKI-LAKI
|
Ibu Rumah Tangga
|
Kepala Keluarga
|
Bukan Pewaris
|
Pewaris
|
Tenaga kerja domestik (urusan rumah tangga)
|
Tenaga kerja publik
(pencari nafkah)
|
Pramugari
|
Pilot
|
Panen Padi
|
Pencangkul laham
|
Dalam kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada pula wanita sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai pilot, pencangkul lahan dan lain-lain. Dengan kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah atau diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut.
(1). Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik.
(2). Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik.
(3). Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran kodrati bersifat statis, sedangkan peran gender bersifat dinamis. Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
PERAN KODRATI
|
|
WANITA
|
PRIA
|
Menstruasi
|
Membuahi sel telur
wanita
|
Mengandung
|
|
Melahirkan
|
|
Menyusui
|
|
Menopause
|
|
2.3 Sosialisasi Peran Gender
Pranata
sosial yang kita masuki sebagai
individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan,
kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita
mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana
orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.(Mosse, 1996:63)
Karena
konstruksi sosial budaya gender,
seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar,
berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat
tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk
untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang
melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang
karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk
untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam
suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa
karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi
sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses
sosialisasi peran gender tersebut
dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna
pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya
diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi”
seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya
setempat.
Pembedaan
identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum seseorang
itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah
langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian
tuntutan peran gender. Sehingga
seseorang terpaksa menerima identitas gender
yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar,
yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari
landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas
menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai
penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini
yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh
dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa
sebutan wanita sebagai kanca wingking
(teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang
berkembang di bawah ilham “halus – kasar” yang secara tegas menjelajahi semua
sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam,
telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober 1995)
Penjajahan
kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih banyak menjadi
korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang, alasan-alasan kultural memberikan
legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan melalui berbagai pranata sosial dan adat
istiadat yang mendarah daging dalam jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi
kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis
mengidap sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella
Complex, suatu jaringan rasa takut yang begitu mencekam, sehingga kaum
wanita merasa tidak berani dan tidak bisa memanfaatkan potensi otak dan daya
kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto, 1998:xxvi)
Sosialisasi
yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses yang
membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan
berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya
melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara
dan lembaga pendidikan.
Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu
lebih cocok berperan sebagai seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya
yang selalu dikatakan sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah,
mengurus suami dan anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra
laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa
laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani
dengan “urusan-urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan
sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi
daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah
Dasar melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang
menyatakan bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping”
suami, dan itulah yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai
“kodrat wanita.”
2.4 Stratifikasi
Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Bila ditinjau dari asal
katanya, istilah stratifikasi berasal dari kata stratus yang artinya lapisan (berlapis-lapis). Sehingga dengan
istilah stratifikasi diperoleh gambaran bahwa dalam tiap kelompok masyarakat
selalu terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi
sampai yang berkedudukan rendah, berlapis-lapis dari atas ke bawah.
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak
mau kita harus melihat kembali pada proses sosialisasi yang telah mengawali pemapanan pembedaan
laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender.
Selama
ini telah disosialisasikan, ditanamkan
sedemikian rupa, ke dalam benak, ke dalam pribadi-pribadi seseorang,
laki-laki dan perempuan, bahwa
karena “kodrat”-nya seorang laki-laki berhak dan sudah seharusnya untuk
mendapat kebebasan, mendapat kesempatan yang lebih luas daripada perempuan.
Tuntutan nilai-nilai yang ditentukan oleh masyarakat telah mengharuskan seorang
laki-laki untuk lebih pintar, lebih kaya, lebih berkuasa daripada seorang
perempuan. Akibatnya segala perhatian dan perlakuan yang diberikan kepada
masing-masing dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan tersebut pun
disesuaikan dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kepada laki-laki
diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu
lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada kaum perempuan. Kepada
kaum laki-laki pula dibuka pintu selebar-lebarnya untuk bekerja di berbagai
sektor publik dalam dunia pekerjaan yang dianggap maskulin, sementara perempuan
lebih diarahkan untuk masuk ke sektor domestik dengan pekerjaan-pekerjaan yang
selama ini memang dianggap sebagai “urusan” perempuan.
Bertolak
dari kondisi tersebut maka akses perempuan terhadap “sesuatu” yang dihargai
dalam masyarakat, yang menjadi sumber kelahiran pelapisan dalam masyarakat pun
menjadi sangat rendah. Sehingga kaum perempuan dengan segala keterbatasan yang
sudah ditentukan oleh masyarakat untuknya terpaksa menempati lapisan yang lebih
rendah di masyarakat daripada kaum laki-laki.
Kondisi
yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di
atas telah juga melahirkan berbagai
bentuk ketidakadilan gender (gender
inequalities)
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan
berdasarkan hubungan gender nyata
sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang
termanifestasi dalam berbagai wujud dan
bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada
“kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena
diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada
dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional dan sebagainya
sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap
penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan
diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan kesamaan kelas,
kini kaum feminis menggemakan
perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan
dan hak yang sama dengan laki-laki.
2.5. Konsep gender dalam kehidupan
masyarakat Indonesia
1.
Lingkungan keluarga
Posisi perempuan dalam keluarga pada
umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya, masihlah berada di bawah
laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus mendapat
persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah
tidak boleh memiliki penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya.
Meskipun perempuan sudah bekerja di luar rumah, mereka juga harus
memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah, mulai dari memasak hingga
mengurus anak.
2. Lingkungan
pendidikan
Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk
mendapatkan akses. Oleh karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia
juga masih didominasi oleh kaum perempuan (kompas, 29 Juli 2010).
3. Lingkungan pekerjaan
Perempuan yang memiliki akses
pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap
kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa
seperti bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan
sedikit ketrampilan seperti pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang
menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford, 1987).
2.5
Bentuk
– bentuk ketidakadilan Gender
1.
Sterotype
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal
pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan
perempuan. Stereotype itu
sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Pelabelan
umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan
sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas
kelompok lainnya. Pelabelan
juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak
seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Pelabelan
negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali
pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
|
|
|
2.
Kekerasan
Kekerasan
(violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang
dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga,
masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan
laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini
kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah,
kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah,
penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu.
Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan.
Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk
diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
·
Kekerasan fisik maupun
non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
·
Pemukulan, penyiksaan
dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
·
Pelecehan seksual.
·
Eksploitasi seks
terhadap perempuan dan pornografi.
3.
Beban
ganda ( double burden )
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan
yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran
yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka
di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah
mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu
rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung
jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami
beban yang berlipat ganda.
4. Marjinalisasi
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan
seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.
Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah
tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali
dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya
telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
·
Guru TK, perawat,
pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja
rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
·
Masih banyaknya pekerja
perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan
formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender,
seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan
factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
·
Perubahan dari sistem
pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan
mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,
Proses
marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi
sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga
laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh
adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di
Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris
sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki.
Demikian
juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan
perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara
laki-laki dan perempuan.
Seorang
perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah dianggap
“bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya, seberapapun banyaknya, dianggap
tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja”
pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan
sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang
utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah
yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.
5. Subordinasi
Pandangan
berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat
munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala
macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan
ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang
melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang
hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir
tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang
lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang
menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan
termanifestasi dalam berbagai wujudnya,
seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan
pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena
perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh
laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.
(Mosse, 1996:76)
Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di
bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia
Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung
kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan
Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki
– yang – tidak lengakap. (Ibid.)
Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan
bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang
lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik
atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam
urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran
publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan
fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic
dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula
ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :
·
Masih sedikitnya jumlah
perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu
kebijakan disbanding laki-laki.
·
Dalam pengupahan,
perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari
suami dan terkadang terkena potongan pajak.
·
Masih sedikitnya jumlah
keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif
).
BAB III
KESIMPULAN
Konsep gender sangatlah luas, tidak terbatas pada
pembedaan faktor seks saja. Perbedaan seks dan gender sendiri ialah terletak
pada sudut pandangnya. Seks dilihat dari pembedaan faktor biologis yang melekat
pada seorang laki-laki dan perempuan dari sejak lahir. Sedangkan gender
merupakan pensifatan seorang laki-laki dan perempuan dari pranata-pranata
sosial di masyarakat yang mengatur nilai dan tingkah laku bagaimana seharusnya
seorang laki-laki dan perempuan harus bertindak berdasarkan dimensi
sosial-budaya.
Perbedaan peran laki-laki dan perempuan inilah, yang
sering kali menimbulkan berbagai permasalahan terutama bagi seorang perempuan.
Banyak perempuan di dunia, mendapatkan perlakuan semena-mena dari laki-laki.
Hal ini didasari karena pensifatan seorang perempuan, yang selalu dianggap
lemah dibandingkan laki-laki. Kaum perempuan dianggap hanya mengerti “urusan
dapur”, hal inilah yang membuat pembatasan gerak seorang perempuan terutama di
lapangan pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Howard s. Friedmen & mariam w. Schustack. 2006. Kepribadian. Erlangga: Jakarta
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/05/makalah-gender.html diakes tgl 04 Mei 2013
http://www.dewinuryanti.com/2012/10/makalah-gender.html diakses tgl 04 Mei 2013
http://basecammatakuliah.blogspot.com/2010/10/contoh-makalah-gender-2.html diakses tgl 04 Mei 2013
Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.
GENDER
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8
Indah
Islami Putri (06121011036)
Nia
Nopeliza (06121011021)
Noviyanti
(06121011024)
Hesti
Apriani (06121011033)
Tri
Nanda Amilia (06121011036)
FKIP
FISIKA 2012
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
0 komentar:
Posting Komentar